Selasa, 27 Desember 2016

Beda Jurusan


Katamu, aku terlambat beberapa tahun hadir ke dalam hidupmu. Sudah ada orang lain di posisi yang seharusnya aku tempati. Itu katamu tadi, sesaat sebelum kita berpisah.

Namun bagiku, bukan aku yang terlambat, atau kau yang berjalan terlalu cepat. Semuanya sudah sesuai, hanya saja jalan kita yang tak pernah searah, tak pernah sama-sama satu tujuan. Kita tiba dalam waktu yang bersamaan pun tentunya tak akan membuat kita berjalan bersisian. Kita digariskan untuk tidak seperti itu, melainkan sebatas bertemu pada satu titik kemudian berpisah menuju tujuan masing-masing. Kataku dalam hati karena tak sempat menyanggah ucapan perpisahanmu tadi.

Suara lonceng kereta api tanda kereta akan segera berangkat tiba-tiba saja menghentikan lamunanku. Perusahaan Kereta Api benar-benar telah berbenah rupanya, tepat pukul 8 malam keretaku pergi meninggalkan Jogja, sama persis dengan apa yang tertera pada tiket. Dan itu tandanya, 30 menit lagi keretamu juga akan berlalu dari kota ini, menuju kota lain dengan arah angin yang berbeda.

Iboih, 27 Desember 2016. Tulisan singkat ini dibuat di tengah-tengah perjalanan udara  menuju Banda Aceh pagi ini. Di ketinggian ribuan kaki, di kondisi yang setengah mengantuk paska begadang semalaman, kalimat demi kalimat dari tulisan ini muncul di kepala, membuat saya langsung mencatatnya di notes hp untuk kemudian memasukkannya ke blog saat tiba di penginapan, yang pada akhirnya baru terlaksana saat hendak beranjak tidur.

Senin, 05 Desember 2016

Tukar Jiwa


Kereta Taksaka Malam relasi Jogja - Jakarta malam ini mengalami keterlambatan karena adanya patah rel di kawasan Purwokerto. Alhasil, sudah pukul 1 dini hari dan kereta kami baru mulai berangkat dari Stasiun Purwokerto menuju Jakarta, mundur 2 jam dari yang seharusnya dijadwalkan. Lucunya, ini tidak menjadi hal yang merugikan untuk kami, namun justru menambah panjang waktu untuk kami menghabiskan sisa-sisa liburan. Memberikan waktu bagi kami untuk terus membicarakan apapun untuk menikmati sisa waktu bersama.

"Jika kau diberikan kesempatan untuk bertukar jiwa, kira-kira kau ingin bertukar jiwa dengan siapa?" tanyanya menarik.

"Aku?" tanyaku bukan untuk memastikan, hanya memberi jeda pada diriku sendiri untuk memikirkan jawaban dari pertanyaannya. Ia pun mengerti dan diam, hanya mengangguk untuk memberikan kebebasan bagiku untuk berkhayal.

"Kalau aku diberikan kesempatan untuk bertukar jiwa, aku akan memilih untuk bertukar jiwa dengan dirimu." Kataku perlahan. "Alasannya sederhana, bukan karena aku ingin melihat bagaimana cara kau memandangku dari sisimu, tapi hanya agar saat kita bertukar jiwa, kau bisa menjadi diriku dan mengetahui bagaimana aku memandangmu serta mengagumi dirimu, hingga akhirnya kau akan dapat merasakan posisi ku saat ini.." kataku, yang dipotong oleh dering notifikasi Whatsapp dari ponselnya. Terlihat, nama kekasihnya muncul di layar notifikasi tersebut, menanyakan kapan keretanya tiba di Gambir pasca gangguan rel patah agar sang kekasih bisa menyesuaikan waktu jemputnya.

Akupun menyudahi kata-kataku, mempersilahkannya untuk segera menjawab pesan kekasihnya karena aku tau bagaimana rasanya menunggu tanpa kepastian.

Terinspirasi dari lagu Tukar Jiwa milik Tulus. Salah satu lagu yang brilian, yang bisa menggambarkan betapa sulitnya berada di posisi seseorang yang mencintai orang lain untuk menceritakan bagaimana ia melihat sosok yang dicintainya dan seberapa besar rasa kagum yang dirasakannya. Karena semua itu tidak mungkin, satu-satunya cara ya hanya dengan melakukan Tukar Jiwa.