Kamis, 07 Juli 2016

Fireworks


Beautiful artwork that specially painted for this story by friend of mine, @zalfyanka


“Kamu tau apa yang aku suka dari tahun baru?”

“Resolusi baru?” jawabnya sedikit asal. “Walau sebenernya jarang juga sih ada orang yang bisa memenuhi resolusinya setiap memasuki akhir tahun, sesederhana turun berat badan sekalipun.”

Aku diam yang kumaksudkan sebagai ‘bukan’. Karena memang aku bukan tipikal orang yang ramai-ramai membuat resolusi setiap awal tahun dan kemudian lupa di bulan kedua.

“Kalau begitu, libur panjang? Dua minggu tanpa gangguan klien cukup untuk membuat liburan akhir tahun selalu dinantikan, ‘kan?”

“Ya, itu salah satunya. Tapi bukan itu.”

“Lalu apa?”

“Kembang api.” kataku ringan yang direspon dengan tawa kecil sarat sindiran. “Murahan banget ya.” lanjutku sebelum ia mengucapkan kata-kata itu lebih dulu yang kemudian dibalas tepukan halusnya di pundakku.

“Kenapa kembang api?” tanyanya sambil melemparkan tatapan penasaran yang mendalam ke dalam pusat perasaanku.

“Sesimpel karena kembang api itu indah. Atau menawan. Atau, apapun itu kau menyebutnya. Semua pasti setuju kalau kembang api itu satu-satunya yang bisa membuatmu lama-lama mendongakkan kepala sambil mengagumi tanpa merasa pegal di lehermu.”

“Aku setuju. Tapi ingin ku koreksi sedikit.” Ia menyela. “Menurutku, yang indah itu bukan kembang apinya, tapi justru momennya lah yang membuat kembang api itu jadi terlihat indah. Dan, yang terpenting, orang yang kau ajak bersama saat menghabiskan momen tersebut yang membuat kembang api menjadi terasa menawan.”

“Ya, aku setuju dengan hal itu. Sebenarnya itu yang ingin aku katakan sebelum kau memotong ucapanku tadi.” Ucapku sedikit tidak mau kalah. "Misalnya, kau menyalakan kembang api saat upacara pemakaman nenekmu atau saat kucingmu baru saja jadi korban tabrak lari mobil tetangga, tentu percikannya tidak akan terlihat seindah itu. Karena momennya ngawur.”

“Selain itu, perihal orang yang kau ajak menikmati kembang api, itu aku juga setuju.” Lanjutku. “Tiap tahun, aku tak pernah absen untuk datang ke tempat ramai dimana orang akan menyalakan kembang api saat pergantian tahun. Alun-alun kampung halaman di Jogja, Bunderan HI, sampai Times Square di New York. Dari mulai bareng keluarga, teman dan temannya teman, sampai sendirian bersama stranger sepernasiban pun aku pernah. Dan juga, bareng sama kamu khusus untuk tahun baru tahun lalu dan tahun ini. Kehadiran kalian semua sama, menjadi pemeriah momen atau sekedar menjadi teman penghilang ke-awkward-an saat bertepuk tangan kegirangan.” Aku berhenti bicara, memberikan sedikit jeda. Mengalihkan pandanganku dari matanya ke jam tangan di lengan kiriku. Pukul 23:51.

“Namun pada akhirnya, aku selalu merasakan ada yang kurang." aku melanjutkan kalimatku. "Dari sekian banyaknya pesta malam tahun baru yang aku saksikan, aku selalu merasa………kesepian. Kalian memang ada di sana, keluarga dan teman-temanku serta kamu dan suara ledakan kembang api yang berbunyi sahut-sahutan tanpa henti. Tapi, aku merasa itu semua hambar. Intinya, aku semacam membutuhkan kehadiran seseorang yang bisa aku genggam tangannya sambil mengucapkan doa kebaikan untuk tahun yang akan datang di dalam hati masing-masing. Karena justru, selama ini aku malah selalu curi-curi kesempatan untuk meneriakkan doa atas keinginanku tersebut di sela-sela bisingnya suara ledakan kembang api.” Kataku panjang lebar. Kami masih dalam posisi yang sama, bersebelahan dengan ada sedikit jarak di antara ujung pundak kami, mendongak menghadap ke arah langit. Namun mata kami tetap di sana. Saling memandang satu sama lain lewat ekor mata masing-masing.

Kemudian hening datang, mengisi ruang di antara ujung pundakku dan ujung pundaknya, menyisakan sedikit oksigen untuk dihirup.

“Kamu tau apa pelajaran yang bisa kita ambil dari kembang api?” tanyanya memecah dead air yang semakin menguat.

Aku diam, tanda tidak tau. Bukan tanda bahwa aku nyaman dengan dead air yang ada.

“Bahwa, di balik sebuah keindahan pasti ada kekurangan yang menyertai. Di balik indahnya percikan warna-warni kembang api, selalu terdapat suara bising yang menyakitkan telinga.”

“Kau tidak bisa menyaksikan indahnya kembang api tanpa suara ledakan, karena memang justru di situ lah letak keindahannya. Harmoni antara yang memanjakan mata dengan yang melukai telinga.”

“Namun, begitupula dengan kekurangan, pasti akan selalu datang bersamaan dengan keindahan yang mungkin hanya kau tidak sadari keberadaannya. Yang kau butuhkan hanyalah sedikit peka dan melihat jauh lebih dalam sisi lain kekurangan itu.” lanjutnya.

Aku masih diam, hanya mendengarkan.

“Pada akhirnya, berhentilah mencari kesempurnaan, karena yang baik pasti selalu diikuti dengan kekurangan, dan tentulah begitu pula kesebalikannya.”  

Mata kami tidak lagi saling melekat saat ia mengucapkan kalimat terakhirnya tersebut. Bisa jadi karena mata kami mulai sibuk menangkap setiap warna yang keluar dari pecahan kembang api di udara. Ah, baru pukul 12 malam kurang 30 detik namun kembang api sudah ramai menghiasi langit Kathmandu. Selamat tahun baru!

Kutoarjo, 7 Juli 2016.

12:29 dini hari dengan ditemani playlist Black Keys, Payung Teduh dan Adhitia Sofyan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar