![]() |
Beautiful artwork that specially painted for this story by friend of mine, @zalfyanka |
“Kamu tau apa yang aku suka dari tahun baru?”
“Resolusi baru?” jawabnya sedikit
asal. “Walau sebenernya jarang juga sih ada orang yang bisa memenuhi resolusinya
setiap memasuki akhir tahun, sesederhana turun berat badan sekalipun.”
Aku diam yang kumaksudkan sebagai
‘bukan’. Karena memang aku bukan tipikal orang yang ramai-ramai membuat
resolusi setiap awal tahun dan kemudian lupa di bulan kedua.
“Kalau begitu, libur panjang? Dua
minggu tanpa gangguan klien cukup untuk membuat liburan akhir tahun selalu
dinantikan, ‘kan?”
“Ya, itu salah satunya. Tapi bukan
itu.”
“Lalu apa?”
“Kembang api.” kataku ringan yang
direspon dengan tawa kecil sarat sindiran. “Murahan banget ya.” lanjutku
sebelum ia mengucapkan kata-kata itu lebih dulu yang kemudian dibalas tepukan
halusnya di pundakku.
“Kenapa kembang api?” tanyanya
sambil melemparkan tatapan penasaran yang mendalam ke dalam pusat perasaanku.
“Sesimpel karena kembang api itu indah.
Atau menawan. Atau, apapun itu kau menyebutnya. Semua pasti setuju kalau kembang api itu satu-satunya yang
bisa membuatmu lama-lama mendongakkan kepala sambil mengagumi tanpa merasa
pegal di lehermu.”
“Aku setuju. Tapi ingin ku
koreksi sedikit.” Ia menyela. “Menurutku, yang indah itu bukan kembang
apinya, tapi justru momennya lah yang membuat kembang api itu jadi terlihat indah.
Dan, yang terpenting, orang yang kau ajak bersama saat menghabiskan momen tersebut yang
membuat kembang api menjadi terasa menawan.”
“Ya, aku setuju dengan hal itu.
Sebenarnya itu yang ingin aku katakan sebelum kau memotong ucapanku tadi.” Ucapku
sedikit tidak mau kalah. "Misalnya, kau menyalakan kembang api saat upacara
pemakaman nenekmu atau saat kucingmu baru saja jadi korban tabrak lari mobil
tetangga, tentu percikannya tidak akan terlihat seindah itu. Karena momennya ngawur.”
“Selain itu, perihal orang yang
kau ajak menikmati kembang api, itu aku juga setuju.” Lanjutku. “Tiap tahun,
aku tak pernah absen untuk datang ke tempat ramai dimana orang akan menyalakan
kembang api saat pergantian tahun. Alun-alun kampung halaman di Jogja, Bunderan
HI, sampai Times Square di New York. Dari mulai bareng keluarga, teman dan
temannya teman, sampai sendirian bersama stranger sepernasiban pun aku pernah. Dan
juga, bareng sama kamu khusus untuk tahun baru tahun lalu dan tahun ini. Kehadiran kalian
semua sama, menjadi pemeriah momen atau sekedar menjadi teman penghilang
ke-awkward-an saat bertepuk tangan kegirangan.” Aku berhenti bicara, memberikan
sedikit jeda. Mengalihkan pandanganku dari matanya ke jam tangan di lengan
kiriku. Pukul 23:51.
“Namun pada akhirnya, aku selalu
merasakan ada yang kurang." aku melanjutkan kalimatku. "Dari sekian banyaknya pesta malam tahun baru yang aku
saksikan, aku selalu merasa………kesepian. Kalian memang ada di sana, keluarga dan
teman-temanku serta kamu dan suara ledakan kembang api yang berbunyi
sahut-sahutan tanpa henti. Tapi, aku merasa itu semua hambar. Intinya, aku semacam
membutuhkan kehadiran seseorang yang bisa aku genggam tangannya sambil
mengucapkan doa kebaikan untuk tahun yang akan datang di dalam hati
masing-masing. Karena justru, selama ini aku malah selalu curi-curi kesempatan
untuk meneriakkan doa atas keinginanku tersebut di sela-sela bisingnya suara
ledakan kembang api.” Kataku panjang lebar. Kami masih dalam posisi yang sama,
bersebelahan dengan ada sedikit jarak di antara ujung pundak kami, mendongak menghadap
ke arah langit. Namun mata kami
tetap di sana. Saling memandang satu sama lain lewat ekor mata masing-masing.
Kemudian hening datang, mengisi ruang di antara ujung
pundakku dan ujung pundaknya, menyisakan sedikit oksigen untuk dihirup.
“Kamu tau apa pelajaran yang bisa
kita ambil dari kembang api?” tanyanya memecah dead air yang semakin menguat.
Aku diam, tanda tidak tau. Bukan tanda
bahwa aku nyaman dengan dead air yang
ada.
“Bahwa, di balik sebuah keindahan
pasti ada kekurangan yang menyertai. Di balik indahnya percikan warna-warni
kembang api, selalu terdapat suara bising yang menyakitkan telinga.”
“Kau tidak bisa menyaksikan
indahnya kembang api tanpa suara ledakan, karena memang justru di situ lah
letak keindahannya. Harmoni antara yang memanjakan mata dengan yang melukai
telinga.”
“Namun, begitupula dengan
kekurangan, pasti akan selalu datang bersamaan dengan keindahan yang mungkin hanya
kau tidak sadari keberadaannya. Yang kau butuhkan hanyalah sedikit peka dan melihat jauh
lebih dalam sisi lain kekurangan itu.” lanjutnya.
Aku masih diam, hanya
mendengarkan.
“Pada akhirnya, berhentilah
mencari kesempurnaan, karena yang baik pasti selalu diikuti dengan kekurangan,
dan tentulah begitu pula kesebalikannya.”
Mata kami tidak lagi saling
melekat saat ia mengucapkan kalimat terakhirnya tersebut. Bisa jadi karena mata
kami mulai sibuk menangkap setiap warna yang keluar dari pecahan kembang api di
udara. Ah, baru pukul 12 malam kurang 30 detik namun kembang api sudah ramai
menghiasi langit Kathmandu. Selamat tahun baru!
Kutoarjo, 7 Juli 2016.
12:29 dini hari dengan ditemani
playlist Black Keys, Payung Teduh dan Adhitia Sofyan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar