Kamis, 13 Oktober 2016

Prau di Bulan Juni


Photo by: instagram.com/aminul_alawiyah

“Kira-kira apa yang membuatmu sangat menyukai tempat ini sampai-sampai ini kali ketujuhnya kau datang ke sini?” Tanyaku sambil menyeruput kopi panas sebagai usahaku agar bibir ini tidak beku oleh terpaan angin pagi pegunungan.

“Kau bisa melihat sendiri apa yang menjadi alasanku betah untuk selalu datang dan datang lagi.” Katanya sambil merentangkan kedua tangannya, menunjuk pemandangan Gunung Sumbing dan Sindoro yang menjulang gagah membelah lautan awan di hadapan kami.

“Aku kira, kau punya alasan lain yang lebih indah dari pemandangan ini. Kenangan bersama seseorang yang spesial, misalnya.” Kataku.

“Memang, aku selalu ingin membawa seseorang spesial dalam hidupku ke sini untuk bersama-sama menikmati apa yang sangat ku sukai ini.” Ucapnya sambil tetap meletakkan pandangannya pada kedua gunung di hadapan kami. “Tapi sayangnya, baru hari ini aku berhasil mewujudkan keinginanku tersebut.” Akunya secara perlahan. Aku dapat merasakan ia berusaha keras menjaga agar nada suaranya tetap stabil. “Jadi, aku menyukai tempat ini benar-benar karena aku menyukainya, bukan karena ada kenangan bersama seseorang.” Lanjutnya menegaskan.

Aku menanggapinya dengan diam, dan justru membuang pandangku ke rerumputan di antara kedua pahaku yang memutih diselimuti embun beku. Ia pun ikut diam dengan kembali menikmati apa yang ada di hadapan kami: Gunung Sumbing & Sindoro yang terlihat serasi dengan saling berdampingan. Di sekelilingnya kabut tipis dan lautan awan menyelimuti bagian lereng mereka. Menyisakan misteri dan pertanyaan tentang apa yang ada di baliknya.

“Apakah kau tau, tentang cerita di balik keindahan pemandangan ini?” Tanyanya memecah keheningan. Aku geleng-geleng karena tidak tau.

“Kalau begitu akan aku ceritakan.” Ucapnya.

“Kalau begitu akan aku dengarkan.” Balasku.

“Menurutmu, apakah Sindoro dan Sumbing terlihat seperti sesuatu yang hidup? Sesuatu yang bukan hanya sekedar benda mati layaknya sebuah gunung, melainkan memiliki jiwa?” Ia mengawali kisahnya dengan sebuah pertanyaan. Aku hanya memberikan kerutan dahiku sebagai respon tanda tidak tau.

“Masyarakat setempat percaya bahwa Sindoro dan Sumbing dulunya adalah manusia. Mereka merupakan sepasang kekasih yang dipercaya oleh Tuhan untuk menjadi sepasang gunung yang bertugas untuk menjaga Tanah Jawa.

“Mereka terlihat bahagia, hidup berdampingan bersama-sama mengemban tugas mulia Yang Maha Kuasa. Setidaknya terlihat dari betapa indahnya visualisai diri mereka saat ini. Seakan menyiratkan jika mereka sangat mensyukuri keputusan Tuhan yang telah membuat mereka kekal dalam kebersamaan.

“Namun, jika kau melihat lebih dalam lagi, sesungguhnya mereka sangat menyesali hal ini. Keadaan sesungguhnya berbeda, tak seindah seperti yang kita lihat sekarang. Kenyataannya, saat ini mereka tidak berdampingan bersama seperti saat mereka masih menjadi manusia dulu. Mereka dipisahkan jarak puluhan kilometer satu sama lain, bahkan keduanya berada di 2 kabupaten berbeda.

“Mereka kesepian satu sama lain, hanya ada hawa dingin yang selalu menemani mereka setiap harinya. Dan ini diperparah dengan sifat kekal yang telah diputuskan Tuhan. Kesepian mereka abadi.

“Dan kau pasti mengerti jika rasa kesepian itu membunuh secara perlahan....” Ia mengakhiri ceritanya dengan nada yang menggantung, meletakkan dagunya di atas dengkul kakinya yang dilipat ke dada. Angin dingin yang berhembus kencang, dan juga sepertinya cerita tentang Sindoro dan Sumbing tadi, membuat aku juga ingin melakukannya, menghangatkan tubuh di tengah suasana yang tiba-tiba menjadi bertambah dingin.

“Ceritamu sangat tragis, aku tidak suka. Jangan suka membahas tentang suatu hal kecuali kau memang benar-benar merasakannya, seperti rasa kesepian itu.” Kini posisi ku sama persis dengan dia, dengkul dilipat ke dada dan kedua tangan memeluk kedua kaki erat-erat.

Kami banyak diam pagi itu. Entah karena berfokus pada apa yang sedang alam suguhkan atau karena merasa terjebak oleh keadaan yang memaksa kami untuk membahas hal yang selalu kami hindari untuk kami bahas.

“Apakah aku tidak terlihat seperti seseorang yang sangat kesepian?” tanyanya di tengah keheningan kami, dengan nada yang menyiratkan seberapa dalam rasa kesepian yang ia rasakan, membuatku bingung harus merespon apa. Aku pun memilih tetap diam, sambil memikirkan apa yang harus kukatakan untuk ucapannya barusan. Tapi sayangnya ia pun ikut diam. Membuat aku terdesak untuk mengatakan apapun.

“Kalau memang kau kesepian, lalu mengapa kau masih memilih untuk tetap sendiri sampai saat ini?” Akhirnya aku memberanikan diri untuk melanjutkan topik pembicaraan ini dengan melemparkan pertanyaan tersebut. Dan lagi, ia menanggapi pertanyaanku dengan diam. Pertanyaanku tersebut telah membuat udara menjadi terasa lebih dingin dan respon diamnya tersebut sukses membuat suasana menjadi beku.

“Kau tau, jika tak semua hal yang sangat kau inginkan harus kau miliki?” Katanya yang membuatku menoleh, meletakkan pandangku padanya. Tidak berbicara apa-apa, mempersilahkan ia untuk melanjutkan kata-katanya.

“Ku berikan satu perumpamaan untuk mempermudah hal ini." Katanya perlahan. "Sama halnya dengan keberadaan ku di sini, di tempat favoritku ini. Seperti yang baru saja sudah aku ceritakan bahwa apa yang membuatku jatuh cinta pada Prau bukanlah Prau itu sendiri, melainkan pemandangan yang disuguhkannya yaitu Gunung Sumbing dan Sindoro di depan sana. Keberadaan mereka berdualah yang membuatku rela bersusah-payah naik ke atas sini sampai kali ketujuhnya karena hanya dari sinilah aku bisa menyaksikan keindahan mereka. Tapi, jika kau tanya apakah aku pernah berkunjung ke kedua gunung tersebut atau salah satunya, jawaban ku adalah tidak. Karena aku percaya, jika tempat paling sempurna untuk menikmati keindahan mereka adalah dari sini. Jika aku pergi ke sana, aku pasti tak akan mendapatkan apa yang sedang aku nikmati saat ini..

“Karena pada akhirnya, ada beberapa hal yang akan menjadi lebih indah jika kau tetap menjaga jarak darinya. Menyaksikannya dari jauh, mengagumi tanpa diketahui, mencintai dengan sembunyi-sembunyi…”

Perbincangan kami pagi itu menggantung pada hening yang kembali menyelimuti kami. Matahari terus beranjak naik, membuat embun beku yang menutupi permukaan rumput-rumput mencair. Udara pun menjadi lebih hangat karena terpaan sinarnya. Seiring matahari yang semakin terik, kabut dan awan yang menutupi lereng Sindoro dan Sumbing pun secara perlahan naik sampai ke puncaknya hingga menutupi seluruh bagian keduanya. Seakan menjadi tanda bahwa pertunjukkan Tuhan hari ini telah usai dan akan dilanjutkan lagi esok hari.


Prau di bulan Juni yang merupakan waktu paling dingin dari Prau setiap tahunnya pun telah menghangat, namun tidak demikian dengan suasana yang ada di antara kami.

Depok, 12 Oktober 2016.


11.58 malam, sebelum beranjak tidur dengan ditemani lagu dari Daft Punk - Something About Us sambil tak henti-hentinya memikirkan seseorang di luar sana.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar