Photo by: instagram.com/aminul_alawiyah
“Kau bisa melihat sendiri apa yang menjadi
alasanku betah untuk selalu datang dan datang lagi.” Katanya sambil merentangkan
kedua tangannya, menunjuk pemandangan Gunung Sumbing dan Sindoro yang menjulang
gagah membelah lautan awan di hadapan kami.
“Aku kira, kau punya alasan lain yang lebih
indah dari pemandangan ini. Kenangan bersama seseorang yang spesial, misalnya.”
Kataku.
“Memang, aku selalu ingin membawa seseorang
spesial dalam hidupku ke sini untuk bersama-sama menikmati apa yang sangat ku
sukai ini.” Ucapnya sambil tetap meletakkan pandangannya pada kedua gunung di
hadapan kami. “Tapi sayangnya, baru hari ini aku berhasil mewujudkan
keinginanku tersebut.” Akunya secara perlahan. Aku dapat merasakan ia berusaha
keras menjaga agar nada suaranya tetap stabil. “Jadi, aku menyukai tempat ini
benar-benar karena aku menyukainya, bukan karena ada kenangan bersama seseorang.”
Lanjutnya menegaskan.
Aku menanggapinya dengan diam, dan justru
membuang pandangku ke rerumputan di antara kedua pahaku yang memutih diselimuti
embun beku. Ia pun ikut diam dengan kembali menikmati apa yang ada di hadapan
kami: Gunung Sumbing & Sindoro yang terlihat serasi dengan saling
berdampingan. Di sekelilingnya kabut tipis dan lautan awan menyelimuti bagian
lereng mereka. Menyisakan misteri dan pertanyaan tentang apa yang ada di
baliknya.
“Apakah kau tau, tentang cerita di balik
keindahan pemandangan ini?” Tanyanya memecah keheningan. Aku geleng-geleng
karena tidak tau.
“Kalau begitu akan aku ceritakan.” Ucapnya.
“Kalau begitu akan aku dengarkan.” Balasku.
“Menurutmu, apakah Sindoro dan Sumbing
terlihat seperti sesuatu yang hidup? Sesuatu yang bukan hanya sekedar benda
mati layaknya sebuah gunung, melainkan memiliki jiwa?” Ia mengawali kisahnya
dengan sebuah pertanyaan. Aku hanya memberikan kerutan dahiku sebagai respon
tanda tidak tau.
“Masyarakat setempat percaya bahwa Sindoro dan
Sumbing dulunya adalah manusia. Mereka merupakan sepasang kekasih yang dipercaya oleh
Tuhan untuk menjadi sepasang gunung yang bertugas untuk menjaga Tanah Jawa.
“Mereka terlihat bahagia, hidup
berdampingan bersama-sama mengemban tugas mulia Yang Maha Kuasa. Setidaknya
terlihat dari betapa indahnya visualisai diri mereka saat ini. Seakan
menyiratkan jika mereka sangat mensyukuri keputusan Tuhan yang telah membuat mereka
kekal dalam kebersamaan.
“Namun, jika kau melihat lebih dalam lagi, sesungguhnya
mereka sangat menyesali hal ini. Keadaan sesungguhnya berbeda, tak seindah seperti
yang kita lihat sekarang. Kenyataannya, saat ini mereka tidak berdampingan
bersama seperti saat mereka masih menjadi manusia dulu. Mereka dipisahkan jarak
puluhan kilometer satu sama lain, bahkan keduanya berada di 2 kabupaten
berbeda.
“Mereka kesepian satu sama lain, hanya ada
hawa dingin yang selalu menemani mereka setiap harinya. Dan ini diperparah
dengan sifat kekal yang telah diputuskan Tuhan. Kesepian mereka abadi.
“Dan kau pasti mengerti jika rasa kesepian
itu membunuh secara perlahan....” Ia mengakhiri ceritanya dengan nada yang
menggantung, meletakkan dagunya di atas dengkul kakinya yang dilipat ke dada. Angin dingin
yang berhembus kencang, dan juga sepertinya cerita tentang Sindoro dan Sumbing
tadi, membuat aku juga ingin melakukannya, menghangatkan tubuh di tengah
suasana yang tiba-tiba menjadi bertambah dingin.
“Ceritamu sangat tragis, aku tidak suka.
Jangan suka membahas tentang suatu hal kecuali kau memang benar-benar merasakannya,
seperti rasa kesepian itu.” Kini posisi ku sama persis dengan dia, dengkul
dilipat ke dada dan kedua tangan memeluk kedua kaki erat-erat.
Kami banyak diam pagi itu. Entah karena
berfokus pada apa yang sedang alam suguhkan atau karena merasa terjebak oleh
keadaan yang memaksa kami untuk membahas hal yang selalu kami hindari untuk
kami bahas.
“Apakah aku tidak terlihat seperti seseorang
yang sangat kesepian?” tanyanya di tengah keheningan kami, dengan nada yang menyiratkan seberapa dalam rasa kesepian yang ia rasakan, membuatku bingung
harus merespon apa. Aku pun memilih tetap diam, sambil memikirkan apa yang
harus kukatakan untuk ucapannya barusan. Tapi sayangnya ia pun ikut diam.
Membuat aku terdesak untuk mengatakan apapun.
“Kalau memang kau kesepian, lalu mengapa
kau masih memilih untuk tetap sendiri sampai saat ini?” Akhirnya aku memberanikan diri untuk melanjutkan topik pembicaraan ini dengan melemparkan pertanyaan tersebut.
Dan lagi, ia menanggapi pertanyaanku dengan diam. Pertanyaanku tersebut telah
membuat udara menjadi terasa lebih dingin dan respon diamnya tersebut sukses
membuat suasana menjadi beku.
“Kau tau, jika tak semua hal yang sangat
kau inginkan harus kau miliki?” Katanya yang membuatku menoleh, meletakkan pandangku padanya.
Tidak berbicara apa-apa, mempersilahkan ia untuk melanjutkan kata-katanya.
“Ku berikan satu perumpamaan untuk
mempermudah hal ini." Katanya perlahan. "Sama halnya dengan keberadaan ku di sini, di tempat
favoritku ini. Seperti yang baru saja sudah aku ceritakan bahwa apa yang
membuatku jatuh cinta pada Prau bukanlah Prau itu sendiri, melainkan
pemandangan yang disuguhkannya yaitu Gunung Sumbing dan Sindoro di depan sana.
Keberadaan mereka berdualah yang membuatku rela bersusah-payah naik ke atas
sini sampai kali ketujuhnya karena hanya dari sinilah aku bisa menyaksikan
keindahan mereka. Tapi, jika kau tanya apakah aku pernah berkunjung ke kedua gunung
tersebut atau salah satunya, jawaban ku adalah tidak. Karena aku percaya, jika
tempat paling sempurna untuk menikmati keindahan mereka adalah dari sini. Jika
aku pergi ke sana, aku pasti tak akan mendapatkan apa yang sedang aku nikmati
saat ini..
“Karena pada akhirnya, ada beberapa hal
yang akan menjadi lebih indah jika kau tetap menjaga jarak darinya.
Menyaksikannya dari jauh, mengagumi tanpa diketahui, mencintai dengan
sembunyi-sembunyi…”
Perbincangan kami pagi itu menggantung pada
hening yang kembali menyelimuti kami. Matahari terus beranjak naik, membuat
embun beku yang menutupi permukaan rumput-rumput mencair. Udara pun menjadi
lebih hangat karena terpaan sinarnya. Seiring matahari yang semakin terik,
kabut dan awan yang menutupi lereng Sindoro dan Sumbing pun secara perlahan
naik sampai ke puncaknya hingga menutupi seluruh bagian keduanya. Seakan menjadi
tanda bahwa pertunjukkan Tuhan hari ini telah usai dan akan dilanjutkan lagi
esok hari.
Prau di bulan Juni yang merupakan waktu paling dingin dari Prau setiap tahunnya pun telah menghangat, namun tidak demikian dengan suasana yang ada di antara kami.
Depok, 12 Oktober 2016.
11.58 malam, sebelum beranjak tidur dengan ditemani lagu dari Daft Punk - Something About Us sambil tak henti-hentinya memikirkan seseorang di luar sana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar