Image from sayangi.com |
“Beringin kembar, kau tau kisah tentang
mereka?” tanyanya ketika semangkuk wedang ronde selesai dihidangkan di hadapan
kami. Membuka percakapan sebagai teman untuk menikmati minuman hangat ini di
pinggiran Alun-alun Kidul Jogja, tempat dimana sang beringin kembar berada.
“Kisah bahwa mereka adalah sepasang kekasih
yang ditugaskan untuk menjaga Keraton?” aku bertanya balik, sedikit asal.
“Ya, mungkin saja ada kisah seperti itu.
Tapi, bukan kisah itu yang kumaksud.”
“Lalu?”
“Kisah tentang beringin kembar dan
kaitannya dengan Jogja saat ini.” Ia mengawali kisahnya. “Kau tau, jika dulu
Jogja tak seperti sekarang ini. Dulu, tak sembarangan orang bisa masuk ke
Keraton atau bahkan berada di halamannya seperti yang sedang orang-orang
lakukan sekarang. Dan jika mereka memiliki akses ke dalam Keraton pun mereka
harus melepas alas kaki mereka, turun dari kuda atau kendaraan apapun yang
sedang mereka tunggangi dan berjalan setengah merunduk saat melintasi kedua
beringin itu. “
“Itu sesuatu hal yang wajar bukan untuk
sebuah kerajaan seperti Jogja?”
“Sangat wajar untuk sebuah kerjaan tapi
tidak untuk Kesultanan Jogja. Jogja itu ramah, Jogja itu rumah. Sifat
eksklusivitas yang dimiliki Keraton dulu sekali telah membuat suasana Jogja
terasa sangat kaku. Ada gap yang
besar antara Keraton dengan rakyat yang membuat tidak adanya ikatan emosional
yang kuat antara keduanya.”
Aku hanya mengangguk.
“Hingga akhirnya, pada tahun 1940 hadirlah
seorang Sultan yang membawa perubahan terhadap Jogja. Kau tau Sultan
Hamengkubuwono IX ‘kan?”
Aku menggangguk lagi.
“Dalam kepemimpinannya, Sultan
Hamengkubuwono IX mengubah sistem Keraton ke arah yang lebih merakyat atau
orang-orang sering menyebut dengan ‘Tahta Untuk Rakyat’. Ia menghapus
peraturan-peraturan yang dulu telah membuat hubungan Keraton dan rakyat menjadi
tidak dekat. Salah satunya, menghapuskan peraturan yang mengharuskan rakyat
berjalan merunduk tanpa alas kaki saat melewati beringin kembar. Hubungan
Keraton dan rakyat pun mencair, mencipatakan suasana yang hangat, ramah
bagaikan rumah hingga saat ini. Membuatmu pasti selalu ingin kembali untuk
pulang.” Katanya panjang lebar sambil sesekali menyesapi wedang ronde melalui
sendok cekung berbahan alumunium. Aku hanya mendengarkan, menunggunya untuk
melanjutkan kembali ceritanya.
“Hingga akhirnya, sekarang kau bisa melihat
rakyat bermain dengan bebas bersama beringin kembar itu, sambil mempertaruhkan
peruntungan nasib pada keduanya.” Lanjutnya.
“Jika mendengar ceritamu barusan, kondisi
beringin kembar dulu dengan sekarang sudah sangat berbeda. Tapi, menurutku, sebenarnya
kondisi keduanya kini masih sedikit sama dengan kondisinya saat dulu sebelum
Sultan Hamengkubuwono IX datang.” Kataku menginterupsi.
“Maksudmu?”
“Kau bisa melihat satu kesamaan antara dulu
dengan sekarang bahwa orang-orang masih harus mengeluarkan effort untuk bisa melewati kedua beringin ini. Dulu tanpa alas kaki
sambil setengah merunduk, sekarang dengan penutup mata sambil meraba-raba.” Kataku
yang kumaksudkan pada tradisi Masangin, dimana orang-orang berusaha untuk bisa berjalan
melewati kedua beringin tua itu dengan kedua mata tertutup dengan iming-iming
akan dikabulkan seluruh keinginannya ketika berhasil.
“Memang, orang-orang sangat pathetic dengan kehidupan mereka,
terutama kehidupan asmara mereka. Sampai-sampai menggantungkannya pada sepasang
beringin tua.” Katanya sedikit sinis.
“Asmara?” Tanyaku memastikan.
“Ya, asmara. Aku berani jamin kalau 99%
orang yang mengikuti permainan beringin kembar ini dimotivasi oleh urusan
percintaan. Termasuk kau.” Ia menyindirku yang baru saja selesai mencoba
peruntungan di beringin kembar. Aku hanya tertawa mendengarnya, menganggap
sindirannya hanya sebagai lelucon.
“Se-pathetic
itu kah orang-orang ini –dan mungkin juga aku?” Tanyaku.
“Menurutku, pathetic sudah cukup pas untuk menggambarkan kondisi mereka.”
“Karena?”
“Karena tak ada hal yang lebih menyedihkan dari menyerahkan kehidupan
percintaan pada sepasang beringin kembar yang tua. Di saat menjadi sendiri
seperti saat ini merupakan pilihan mereka–dan mungkin juga kau.”
“Pilihan?” ucapku dengan nada tidak setuju.
“Ya betul pilihan, yang berarti mereka –dan
juga kau, telah memilih untuk tidak menjalin hubungan perasaan dengan orang lain
atau memilih untuk sendiri.”
“Sepertinya aku kurang setuju dengan
ucapanmu ini. Bagaimana mungkin kau menyebut mereka ‘memilih’ di saat mereka
bahkan tak memiliki pilihan sama sekali? Maksudku, dengan mengikuti permainan
beringin kembar ini sudah dengan jelas menggambrakan seberapa putus asa mereka
karena tak kunjung mendapatkan pilihan selain tetap menjadi sendiri.”
“Sikap ngotot-mu
ini sebenarnya telah menunjukkan bahwa ‘memilih’ di sini benar-benar dilakukan
di luar alam sadarmu.” Ucapnya dengan nada penuh kemenangan. “Apakah kau tidak
sadar, dengan kau tetap terpaku pada seseorang yang selalu kau tunggu secara
tidak langsung kau telah memilih untuk tetap sendiri?” ia berusaha menghaluskan
ucapannya dengan menambahkan nada bertanya pada kalimatnya.
“Atau, contoh lainnya ketika kau membuat
sederet kriteria bagi orang yang akan membantumu menghapus kesendirianmu. Kau
bahkan tak memberikan kesempatan pada perasaan untuk tumbuh lebih dulu, namun
membunuhnya langsung sebelum ia bisa berkembang. Kau secara tidak langsung
telah memilih untuk sendiri.
Aku hanya diam. Kami berdua diam.
"Menjadi sendiri itu pilihan, karena pada kenyataannya kita memiliki pilihan lain untuk berbagi ruang hati dengan orang lain, hanya terkadang kita terlalu sibuk membangun dinding tinggi daripada membangun jembatan yang bisa menjadi pintu bagi orang lain untuk masuk ke kehidupan kita. Yang pada akhirnya membuat kita terkungkung di dalam ruangan berdinding tinggi tersebut, sendiri dan kesepian..” Ucapnya dingin.
Aku hanya diam. Kami berdua diam.
"Menjadi sendiri itu pilihan, karena pada kenyataannya kita memiliki pilihan lain untuk berbagi ruang hati dengan orang lain, hanya terkadang kita terlalu sibuk membangun dinding tinggi daripada membangun jembatan yang bisa menjadi pintu bagi orang lain untuk masuk ke kehidupan kita. Yang pada akhirnya membuat kita terkungkung di dalam ruangan berdinding tinggi tersebut, sendiri dan kesepian..” Ucapnya dingin.
Aku bersyukur dengan gerimis yang tiba-tiba
turun sesaat ketika ia menyelesaikan kalimatnya yang kemudian memaksa kami untuk menyudahi malam dan kembali ke
penginapan, membantuku mengalihkan pikiran dari apa yang telah ia ucapkan
barusan.
Jogja kala itu memang terus dilanda
mendung, gerimis hilang-timbul sepanjang hari tanpa henti. Membuat semangkuk
wedang ronde tadi menjadi pilihan yang tepat, menghangatkan hati yang
sebenarnya diam-diam merasa kesepian.
Depok, 01 November 2016 pukul 10.34 malam di Kedai Kopi Kesukaan: Mug. Tulisan diselesaikan saat sedang mendengarkan Overjoyed - Stevie Wonder karena benar-benar sedang overjoyed :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar