Selasa, 01 November 2016

Beringin Kembar

Image from sayangi.com

“Beringin kembar, kau tau kisah tentang mereka?” tanyanya ketika semangkuk wedang ronde selesai dihidangkan di hadapan kami. Membuka percakapan sebagai teman untuk menikmati minuman hangat ini di pinggiran Alun-alun Kidul Jogja, tempat dimana sang beringin kembar berada.

“Kisah bahwa mereka adalah sepasang kekasih yang ditugaskan untuk menjaga Keraton?” aku bertanya balik, sedikit asal.

“Ya, mungkin saja ada kisah seperti itu. Tapi, bukan kisah itu yang kumaksud.”

“Lalu?”

“Kisah tentang beringin kembar dan kaitannya dengan Jogja saat ini.” Ia mengawali kisahnya. “Kau tau, jika dulu Jogja tak seperti sekarang ini. Dulu, tak sembarangan orang bisa masuk ke Keraton atau bahkan berada di halamannya seperti yang sedang orang-orang lakukan sekarang. Dan jika mereka memiliki akses ke dalam Keraton pun mereka harus melepas alas kaki mereka, turun dari kuda atau kendaraan apapun yang sedang mereka tunggangi dan berjalan setengah merunduk saat melintasi kedua beringin itu. “

“Itu sesuatu hal yang wajar bukan untuk sebuah kerajaan seperti Jogja?”

“Sangat wajar untuk sebuah kerjaan tapi tidak untuk Kesultanan Jogja. Jogja itu ramah, Jogja itu rumah. Sifat eksklusivitas yang dimiliki Keraton dulu sekali telah membuat suasana Jogja terasa sangat kaku. Ada gap yang besar antara Keraton dengan rakyat yang membuat tidak adanya ikatan emosional yang kuat antara keduanya.”

Aku hanya mengangguk.

“Hingga akhirnya, pada tahun 1940 hadirlah seorang Sultan yang membawa perubahan terhadap Jogja. Kau tau Sultan Hamengkubuwono IX ‘kan?”

Aku menggangguk lagi.

“Dalam kepemimpinannya, Sultan Hamengkubuwono IX mengubah sistem Keraton ke arah yang lebih merakyat atau orang-orang sering menyebut dengan ‘Tahta Untuk Rakyat’. Ia menghapus peraturan-peraturan yang dulu telah membuat hubungan Keraton dan rakyat menjadi tidak dekat. Salah satunya, menghapuskan peraturan yang mengharuskan rakyat berjalan merunduk tanpa alas kaki saat melewati beringin kembar. Hubungan Keraton dan rakyat pun mencair, mencipatakan suasana yang hangat, ramah bagaikan rumah hingga saat ini. Membuatmu pasti selalu ingin kembali untuk pulang.” Katanya panjang lebar sambil sesekali menyesapi wedang ronde melalui sendok cekung berbahan alumunium. Aku hanya mendengarkan, menunggunya untuk melanjutkan kembali ceritanya.

“Hingga akhirnya, sekarang kau bisa melihat rakyat bermain dengan bebas bersama beringin kembar itu, sambil mempertaruhkan peruntungan nasib pada keduanya.” Lanjutnya.

“Jika mendengar ceritamu barusan, kondisi beringin kembar dulu dengan sekarang sudah sangat berbeda. Tapi, menurutku, sebenarnya kondisi keduanya kini masih sedikit sama dengan kondisinya saat dulu sebelum Sultan Hamengkubuwono IX datang.” Kataku menginterupsi.

“Maksudmu?”

“Kau bisa melihat satu kesamaan antara dulu dengan sekarang bahwa orang-orang masih harus mengeluarkan effort untuk bisa melewati kedua beringin ini. Dulu tanpa alas kaki sambil setengah merunduk, sekarang dengan penutup mata sambil meraba-raba.” Kataku yang kumaksudkan pada tradisi Masangin, dimana orang-orang berusaha untuk bisa berjalan melewati kedua beringin tua itu dengan kedua mata tertutup dengan iming-iming akan dikabulkan seluruh keinginannya ketika berhasil.

“Memang, orang-orang sangat pathetic dengan kehidupan mereka, terutama kehidupan asmara mereka. Sampai-sampai menggantungkannya pada sepasang beringin tua.” Katanya sedikit sinis.

“Asmara?” Tanyaku memastikan.

“Ya, asmara. Aku berani jamin kalau 99% orang yang mengikuti permainan beringin kembar ini dimotivasi oleh urusan percintaan. Termasuk kau.” Ia menyindirku yang baru saja selesai mencoba peruntungan di beringin kembar. Aku hanya tertawa mendengarnya, menganggap sindirannya hanya sebagai lelucon.

“Se-pathetic itu kah orang-orang ini –dan mungkin juga aku?” Tanyaku.

“Menurutku, pathetic sudah cukup pas untuk menggambarkan kondisi mereka.”

“Karena?”

“Karena tak ada hal yang lebih menyedihkan dari menyerahkan kehidupan percintaan pada sepasang beringin kembar yang tua. Di saat menjadi sendiri seperti saat ini merupakan pilihan mereka–dan mungkin juga kau.”

“Pilihan?” ucapku dengan nada tidak setuju.

“Ya betul pilihan, yang berarti mereka –dan juga kau, telah memilih untuk tidak menjalin hubungan perasaan dengan orang lain atau memilih untuk sendiri.”

“Sepertinya aku kurang setuju dengan ucapanmu ini. Bagaimana mungkin kau menyebut mereka ‘memilih’ di saat mereka bahkan tak memiliki pilihan sama sekali? Maksudku, dengan mengikuti permainan beringin kembar ini sudah dengan jelas menggambrakan seberapa putus asa mereka karena tak kunjung mendapatkan pilihan selain tetap menjadi sendiri.”

“Sikap ngotot-mu ini sebenarnya telah menunjukkan bahwa ‘memilih’ di sini benar-benar dilakukan di luar alam sadarmu.” Ucapnya dengan nada penuh kemenangan. “Apakah kau tidak sadar, dengan kau tetap terpaku pada seseorang yang selalu kau tunggu secara tidak langsung kau telah memilih untuk tetap sendiri?” ia berusaha menghaluskan ucapannya dengan menambahkan nada bertanya pada kalimatnya.

“Atau, contoh lainnya ketika kau membuat sederet kriteria bagi orang yang akan membantumu menghapus kesendirianmu. Kau bahkan tak memberikan kesempatan pada perasaan untuk tumbuh lebih dulu, namun membunuhnya langsung sebelum ia bisa berkembang. Kau secara tidak langsung telah memilih untuk sendiri.

Aku hanya diam. Kami berdua diam.

"Menjadi sendiri itu pilihan, karena pada kenyataannya kita memiliki pilihan lain untuk berbagi ruang hati dengan orang lain, hanya terkadang kita terlalu sibuk membangun dinding tinggi daripada membangun jembatan yang bisa menjadi pintu bagi orang lain untuk masuk ke kehidupan kita. Yang pada akhirnya membuat kita terkungkung di dalam ruangan berdinding tinggi tersebut, sendiri dan kesepian..” Ucapnya dingin.

Aku bersyukur dengan gerimis yang tiba-tiba turun sesaat ketika ia menyelesaikan kalimatnya yang kemudian memaksa kami untuk menyudahi malam dan kembali ke penginapan, membantuku mengalihkan pikiran dari apa yang telah ia ucapkan barusan.


Jogja kala itu memang terus dilanda mendung, gerimis hilang-timbul sepanjang hari tanpa henti. Membuat semangkuk wedang ronde tadi menjadi pilihan yang tepat, menghangatkan hati yang sebenarnya diam-diam merasa kesepian.

Depok, 01 November 2016 pukul 10.34 malam di Kedai Kopi Kesukaan: Mug. Tulisan diselesaikan saat sedang mendengarkan Overjoyed - Stevie Wonder karena benar-benar sedang overjoyed :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar