Jumat, 11 November 2016

Daun Pintu, Kunci & Gawang Pintu

Photo by @hellopetal1

Sore itu, selepas hujan ketika langit mulai kembali cerah menuju senja namun suasana basah masih sangat kuat terasa, terdengar percakapan antara Daun Pintu, Kunci dan Gawang Pintu di sebuah rumah di pojok jalan di Kota Bandung.


"Jadi, apa fungsimu pada sebuah rumah?" Tanya Kunci pada Daun Pintu.


"Aku menjadi penjaga dari Gawang Pintu agar tak selalu terbuka, sehingga tak sembarang orang dapat masuk dengan mudahnya. Saat aku tertutup, itu menjadi tanda bahwa siapapun yang ingin masuk harus izin terlebih dahulu. Karena bagaimanapun juga kita harus memilih siapa saja yang boleh dan tidak boleh masuk untuk singgah." Jelas Daun Pintu pada Kunci, yang dilanjutkan dengan pertanyaan baliknya pada Kunci. "Bagaimana dengan kau?".


"Sama sepertimu, tugasku pun untuk menjaga siapa-siapa saja yang boleh dan tidak boleh masuk. Namun, terkadang tertutup saja tidak cukup untuk menjaga rumah dari mereka yang suka sembarangan hadir lalu dengan seenaknya pergi sesuka hati. Maka dari itu rumah membutuhkan kunci, memastikan perlindungannya aman dari kehadiran mereka yang hanya mampir untuk sekedar bermain atau bahkan memiliki maksud jahat." Cerita Kunci pada Daun Pintu yang tadi melemparkan pertanyaan padanya.


"Lalu bagaimana dengan kau, Gawang Pintu?" Tanya Daun Pintu pada Gawang Pintu yang didukung oleh Kunci yang juga ikut penasaran.


"Aku? Fungsiku sederhana yaitu memberikan jalan untuk mereka siapapun itu yang ingin berkunjung ke dalam. Karena, tak selamanya kau harus memilih siapa saja yang boleh singgah dan siapa saja yang tidak. Karena pada kenyataannya, di luar sana banyak dari mereka yang memiliki niat tulus ingin bertamu tapi harus kembali pergi karena putus asa dan kelelahan setelah mengetuk berkali-kali namun tak kunjung juga dibukakan.." Kata Gawang Pintu yang menjadi akhir dari percakapan mereka sore itu.


Tak lama setelah itu datang seorang Driver Gojek yang mengetuk pintu untuk mengantar Bubur Ayam hangat pesanan sang penghuni yang sedang kedinginan dan kesepian pasca hujan lebat sore tadi.


KM 97 Tol Cipularang, 11 November 2016 pukul 03.14 sore. Mampir ke rest area ini lagi karena hujan deras yang tak kunjung reda. Niat awal mencari aman, tapi malah terjebak nostalgia pada akhirnya. Haha.

Paus

Photo by @kumbaka

“Menurutmu, sifat paling buruk apa yang dimiliki manusia?” tanyaku dalam rangka membunuh kebosanan di tengah kemacetan parah menuju rumah seusai berkunjung ke kota sebelah.

“Maruk, serakah dan tidak pernah puas.” Katanya sambil menaikkan rem tangan dan meluruskan kaki pertanda telah pasrah dengan kondisi macet yang makin parah.

“Kenapa begitu?” tanyaku.

“Mereka sangat mengutuk kemacetan, tapi mereka tetap pergi keluar rumah saat weekend. Seakan macet sepulang kantor masih terasa kurang juga.” Jelasnya yang diikuti dengan tawaku.

“Melihat kegilaan ini, menimbulkan 1 pertanyaan dalam pikiranku. Jika kau diberikan 1 kesempatan untuk dilahirkan kembali dan tidak menjadi manusia, kira-kira kau ingin dilahirkan menjadi apa?” Aku melemparkan pertanyaan random, tiba-tiba.

“Ada baiknya, karena kau yang memiliki pertanyaan, kau dulu yang menjawab. Biarkan aku berpikir lebih dulu sambil mendengarkan jawabanmu” ucapnya. Aku seketika berpikir untuk menemukan jawaban dari pengandaianku sendiri.

“Mungkin Paus?” Aku bertanya untuk jawabanku sendiri. Tanda ragu-ragu.

“Karena?”

“Sesimpel karena paus itu……adorable. Gesture mereka, gerakan tubuh mereka ketika menari saat mengarungi lautan sangat menawan. Saat mereka melompat di udara, mereka terlihat lebih dari sekedar anggun.” Jelasku.

“Hanya itu?” Tanyanya memastikan. Akupun diam sejenak.

“Juga karena mereka memiliki kawanan yang setia menemani mereka sejak kelahiran hingga saat mereka mati. Kawanan yang selalu ada setiap harinya dalam mendampingi mereka membelah samudra. Kawanan yang membuat lautan dingin maha luas jadi terasa hangat. Hidup mereka utuh, mereka tak pernah merasa kesepian..” Aku menggantungkan jawabanku di sana membuat suasana sedikit canggung.

“Bagaimana dengan kau? Sudah selesai berpikirnya?” Aku berusaha mengakhiri keheningan yang sempat hadir.

“Sudah kuputuskan, jika aku mendapatkan kesempatan itu, aku akan memberikannya padamu. Karena bagaimanapun buruknya aku dan hidupku, aku akan tetap memilih menjalani hidup ini sebagai diriku dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Menjalani jatuh bangunnya hidupku yang telah membentuk aku menjadi aku yang sekarang. Sekeras mungkin akan ku coba menikmati hidup ini sebesar apapun rasa kesepian yang sering kali datang..”

Sebuah intro lagu tiba-tiba terdengar dari radio tepat ketika ia menyelesaikan kalimatnya. Lagu yang menjadi lagu kesukaan kami berdua sejak dulu. Membuat aku dan dia refleks bernyanyi, menyudahi obrolan random sore hari dari 2 orang yang sama-sama kesepian namun tetap memilih hidup dalam kesendirian meski selalu berjalan bersisian.


Depok, 11 November 2016 pukul 01.38 pagi. Menyelesaikan tulisan setelah seharian me-repeat True Love Waits – Radiohead. This song helps me feeling better and makes me getting worse at the same time. LOL.

Selasa, 01 November 2016

Beringin Kembar

Image from sayangi.com

“Beringin kembar, kau tau kisah tentang mereka?” tanyanya ketika semangkuk wedang ronde selesai dihidangkan di hadapan kami. Membuka percakapan sebagai teman untuk menikmati minuman hangat ini di pinggiran Alun-alun Kidul Jogja, tempat dimana sang beringin kembar berada.

“Kisah bahwa mereka adalah sepasang kekasih yang ditugaskan untuk menjaga Keraton?” aku bertanya balik, sedikit asal.

“Ya, mungkin saja ada kisah seperti itu. Tapi, bukan kisah itu yang kumaksud.”

“Lalu?”

“Kisah tentang beringin kembar dan kaitannya dengan Jogja saat ini.” Ia mengawali kisahnya. “Kau tau, jika dulu Jogja tak seperti sekarang ini. Dulu, tak sembarangan orang bisa masuk ke Keraton atau bahkan berada di halamannya seperti yang sedang orang-orang lakukan sekarang. Dan jika mereka memiliki akses ke dalam Keraton pun mereka harus melepas alas kaki mereka, turun dari kuda atau kendaraan apapun yang sedang mereka tunggangi dan berjalan setengah merunduk saat melintasi kedua beringin itu. “

“Itu sesuatu hal yang wajar bukan untuk sebuah kerajaan seperti Jogja?”

“Sangat wajar untuk sebuah kerjaan tapi tidak untuk Kesultanan Jogja. Jogja itu ramah, Jogja itu rumah. Sifat eksklusivitas yang dimiliki Keraton dulu sekali telah membuat suasana Jogja terasa sangat kaku. Ada gap yang besar antara Keraton dengan rakyat yang membuat tidak adanya ikatan emosional yang kuat antara keduanya.”

Aku hanya mengangguk.

“Hingga akhirnya, pada tahun 1940 hadirlah seorang Sultan yang membawa perubahan terhadap Jogja. Kau tau Sultan Hamengkubuwono IX ‘kan?”

Aku menggangguk lagi.

“Dalam kepemimpinannya, Sultan Hamengkubuwono IX mengubah sistem Keraton ke arah yang lebih merakyat atau orang-orang sering menyebut dengan ‘Tahta Untuk Rakyat’. Ia menghapus peraturan-peraturan yang dulu telah membuat hubungan Keraton dan rakyat menjadi tidak dekat. Salah satunya, menghapuskan peraturan yang mengharuskan rakyat berjalan merunduk tanpa alas kaki saat melewati beringin kembar. Hubungan Keraton dan rakyat pun mencair, mencipatakan suasana yang hangat, ramah bagaikan rumah hingga saat ini. Membuatmu pasti selalu ingin kembali untuk pulang.” Katanya panjang lebar sambil sesekali menyesapi wedang ronde melalui sendok cekung berbahan alumunium. Aku hanya mendengarkan, menunggunya untuk melanjutkan kembali ceritanya.

“Hingga akhirnya, sekarang kau bisa melihat rakyat bermain dengan bebas bersama beringin kembar itu, sambil mempertaruhkan peruntungan nasib pada keduanya.” Lanjutnya.

“Jika mendengar ceritamu barusan, kondisi beringin kembar dulu dengan sekarang sudah sangat berbeda. Tapi, menurutku, sebenarnya kondisi keduanya kini masih sedikit sama dengan kondisinya saat dulu sebelum Sultan Hamengkubuwono IX datang.” Kataku menginterupsi.

“Maksudmu?”

“Kau bisa melihat satu kesamaan antara dulu dengan sekarang bahwa orang-orang masih harus mengeluarkan effort untuk bisa melewati kedua beringin ini. Dulu tanpa alas kaki sambil setengah merunduk, sekarang dengan penutup mata sambil meraba-raba.” Kataku yang kumaksudkan pada tradisi Masangin, dimana orang-orang berusaha untuk bisa berjalan melewati kedua beringin tua itu dengan kedua mata tertutup dengan iming-iming akan dikabulkan seluruh keinginannya ketika berhasil.

“Memang, orang-orang sangat pathetic dengan kehidupan mereka, terutama kehidupan asmara mereka. Sampai-sampai menggantungkannya pada sepasang beringin tua.” Katanya sedikit sinis.

“Asmara?” Tanyaku memastikan.

“Ya, asmara. Aku berani jamin kalau 99% orang yang mengikuti permainan beringin kembar ini dimotivasi oleh urusan percintaan. Termasuk kau.” Ia menyindirku yang baru saja selesai mencoba peruntungan di beringin kembar. Aku hanya tertawa mendengarnya, menganggap sindirannya hanya sebagai lelucon.

“Se-pathetic itu kah orang-orang ini –dan mungkin juga aku?” Tanyaku.

“Menurutku, pathetic sudah cukup pas untuk menggambarkan kondisi mereka.”

“Karena?”

“Karena tak ada hal yang lebih menyedihkan dari menyerahkan kehidupan percintaan pada sepasang beringin kembar yang tua. Di saat menjadi sendiri seperti saat ini merupakan pilihan mereka–dan mungkin juga kau.”

“Pilihan?” ucapku dengan nada tidak setuju.

“Ya betul pilihan, yang berarti mereka –dan juga kau, telah memilih untuk tidak menjalin hubungan perasaan dengan orang lain atau memilih untuk sendiri.”

“Sepertinya aku kurang setuju dengan ucapanmu ini. Bagaimana mungkin kau menyebut mereka ‘memilih’ di saat mereka bahkan tak memiliki pilihan sama sekali? Maksudku, dengan mengikuti permainan beringin kembar ini sudah dengan jelas menggambrakan seberapa putus asa mereka karena tak kunjung mendapatkan pilihan selain tetap menjadi sendiri.”

“Sikap ngotot-mu ini sebenarnya telah menunjukkan bahwa ‘memilih’ di sini benar-benar dilakukan di luar alam sadarmu.” Ucapnya dengan nada penuh kemenangan. “Apakah kau tidak sadar, dengan kau tetap terpaku pada seseorang yang selalu kau tunggu secara tidak langsung kau telah memilih untuk tetap sendiri?” ia berusaha menghaluskan ucapannya dengan menambahkan nada bertanya pada kalimatnya.

“Atau, contoh lainnya ketika kau membuat sederet kriteria bagi orang yang akan membantumu menghapus kesendirianmu. Kau bahkan tak memberikan kesempatan pada perasaan untuk tumbuh lebih dulu, namun membunuhnya langsung sebelum ia bisa berkembang. Kau secara tidak langsung telah memilih untuk sendiri.

Aku hanya diam. Kami berdua diam.

"Menjadi sendiri itu pilihan, karena pada kenyataannya kita memiliki pilihan lain untuk berbagi ruang hati dengan orang lain, hanya terkadang kita terlalu sibuk membangun dinding tinggi daripada membangun jembatan yang bisa menjadi pintu bagi orang lain untuk masuk ke kehidupan kita. Yang pada akhirnya membuat kita terkungkung di dalam ruangan berdinding tinggi tersebut, sendiri dan kesepian..” Ucapnya dingin.

Aku bersyukur dengan gerimis yang tiba-tiba turun sesaat ketika ia menyelesaikan kalimatnya yang kemudian memaksa kami untuk menyudahi malam dan kembali ke penginapan, membantuku mengalihkan pikiran dari apa yang telah ia ucapkan barusan.


Jogja kala itu memang terus dilanda mendung, gerimis hilang-timbul sepanjang hari tanpa henti. Membuat semangkuk wedang ronde tadi menjadi pilihan yang tepat, menghangatkan hati yang sebenarnya diam-diam merasa kesepian.

Depok, 01 November 2016 pukul 10.34 malam di Kedai Kopi Kesukaan: Mug. Tulisan diselesaikan saat sedang mendengarkan Overjoyed - Stevie Wonder karena benar-benar sedang overjoyed :)