Selasa, 27 Desember 2016

Beda Jurusan


Katamu, aku terlambat beberapa tahun hadir ke dalam hidupmu. Sudah ada orang lain di posisi yang seharusnya aku tempati. Itu katamu tadi, sesaat sebelum kita berpisah.

Namun bagiku, bukan aku yang terlambat, atau kau yang berjalan terlalu cepat. Semuanya sudah sesuai, hanya saja jalan kita yang tak pernah searah, tak pernah sama-sama satu tujuan. Kita tiba dalam waktu yang bersamaan pun tentunya tak akan membuat kita berjalan bersisian. Kita digariskan untuk tidak seperti itu, melainkan sebatas bertemu pada satu titik kemudian berpisah menuju tujuan masing-masing. Kataku dalam hati karena tak sempat menyanggah ucapan perpisahanmu tadi.

Suara lonceng kereta api tanda kereta akan segera berangkat tiba-tiba saja menghentikan lamunanku. Perusahaan Kereta Api benar-benar telah berbenah rupanya, tepat pukul 8 malam keretaku pergi meninggalkan Jogja, sama persis dengan apa yang tertera pada tiket. Dan itu tandanya, 30 menit lagi keretamu juga akan berlalu dari kota ini, menuju kota lain dengan arah angin yang berbeda.

Iboih, 27 Desember 2016. Tulisan singkat ini dibuat di tengah-tengah perjalanan udara  menuju Banda Aceh pagi ini. Di ketinggian ribuan kaki, di kondisi yang setengah mengantuk paska begadang semalaman, kalimat demi kalimat dari tulisan ini muncul di kepala, membuat saya langsung mencatatnya di notes hp untuk kemudian memasukkannya ke blog saat tiba di penginapan, yang pada akhirnya baru terlaksana saat hendak beranjak tidur.

Senin, 05 Desember 2016

Tukar Jiwa


Kereta Taksaka Malam relasi Jogja - Jakarta malam ini mengalami keterlambatan karena adanya patah rel di kawasan Purwokerto. Alhasil, sudah pukul 1 dini hari dan kereta kami baru mulai berangkat dari Stasiun Purwokerto menuju Jakarta, mundur 2 jam dari yang seharusnya dijadwalkan. Lucunya, ini tidak menjadi hal yang merugikan untuk kami, namun justru menambah panjang waktu untuk kami menghabiskan sisa-sisa liburan. Memberikan waktu bagi kami untuk terus membicarakan apapun untuk menikmati sisa waktu bersama.

"Jika kau diberikan kesempatan untuk bertukar jiwa, kira-kira kau ingin bertukar jiwa dengan siapa?" tanyanya menarik.

"Aku?" tanyaku bukan untuk memastikan, hanya memberi jeda pada diriku sendiri untuk memikirkan jawaban dari pertanyaannya. Ia pun mengerti dan diam, hanya mengangguk untuk memberikan kebebasan bagiku untuk berkhayal.

"Kalau aku diberikan kesempatan untuk bertukar jiwa, aku akan memilih untuk bertukar jiwa dengan dirimu." Kataku perlahan. "Alasannya sederhana, bukan karena aku ingin melihat bagaimana cara kau memandangku dari sisimu, tapi hanya agar saat kita bertukar jiwa, kau bisa menjadi diriku dan mengetahui bagaimana aku memandangmu serta mengagumi dirimu, hingga akhirnya kau akan dapat merasakan posisi ku saat ini.." kataku, yang dipotong oleh dering notifikasi Whatsapp dari ponselnya. Terlihat, nama kekasihnya muncul di layar notifikasi tersebut, menanyakan kapan keretanya tiba di Gambir pasca gangguan rel patah agar sang kekasih bisa menyesuaikan waktu jemputnya.

Akupun menyudahi kata-kataku, mempersilahkannya untuk segera menjawab pesan kekasihnya karena aku tau bagaimana rasanya menunggu tanpa kepastian.

Terinspirasi dari lagu Tukar Jiwa milik Tulus. Salah satu lagu yang brilian, yang bisa menggambarkan betapa sulitnya berada di posisi seseorang yang mencintai orang lain untuk menceritakan bagaimana ia melihat sosok yang dicintainya dan seberapa besar rasa kagum yang dirasakannya. Karena semua itu tidak mungkin, satu-satunya cara ya hanya dengan melakukan Tukar Jiwa.

Jumat, 11 November 2016

Daun Pintu, Kunci & Gawang Pintu

Photo by @hellopetal1

Sore itu, selepas hujan ketika langit mulai kembali cerah menuju senja namun suasana basah masih sangat kuat terasa, terdengar percakapan antara Daun Pintu, Kunci dan Gawang Pintu di sebuah rumah di pojok jalan di Kota Bandung.


"Jadi, apa fungsimu pada sebuah rumah?" Tanya Kunci pada Daun Pintu.


"Aku menjadi penjaga dari Gawang Pintu agar tak selalu terbuka, sehingga tak sembarang orang dapat masuk dengan mudahnya. Saat aku tertutup, itu menjadi tanda bahwa siapapun yang ingin masuk harus izin terlebih dahulu. Karena bagaimanapun juga kita harus memilih siapa saja yang boleh dan tidak boleh masuk untuk singgah." Jelas Daun Pintu pada Kunci, yang dilanjutkan dengan pertanyaan baliknya pada Kunci. "Bagaimana dengan kau?".


"Sama sepertimu, tugasku pun untuk menjaga siapa-siapa saja yang boleh dan tidak boleh masuk. Namun, terkadang tertutup saja tidak cukup untuk menjaga rumah dari mereka yang suka sembarangan hadir lalu dengan seenaknya pergi sesuka hati. Maka dari itu rumah membutuhkan kunci, memastikan perlindungannya aman dari kehadiran mereka yang hanya mampir untuk sekedar bermain atau bahkan memiliki maksud jahat." Cerita Kunci pada Daun Pintu yang tadi melemparkan pertanyaan padanya.


"Lalu bagaimana dengan kau, Gawang Pintu?" Tanya Daun Pintu pada Gawang Pintu yang didukung oleh Kunci yang juga ikut penasaran.


"Aku? Fungsiku sederhana yaitu memberikan jalan untuk mereka siapapun itu yang ingin berkunjung ke dalam. Karena, tak selamanya kau harus memilih siapa saja yang boleh singgah dan siapa saja yang tidak. Karena pada kenyataannya, di luar sana banyak dari mereka yang memiliki niat tulus ingin bertamu tapi harus kembali pergi karena putus asa dan kelelahan setelah mengetuk berkali-kali namun tak kunjung juga dibukakan.." Kata Gawang Pintu yang menjadi akhir dari percakapan mereka sore itu.


Tak lama setelah itu datang seorang Driver Gojek yang mengetuk pintu untuk mengantar Bubur Ayam hangat pesanan sang penghuni yang sedang kedinginan dan kesepian pasca hujan lebat sore tadi.


KM 97 Tol Cipularang, 11 November 2016 pukul 03.14 sore. Mampir ke rest area ini lagi karena hujan deras yang tak kunjung reda. Niat awal mencari aman, tapi malah terjebak nostalgia pada akhirnya. Haha.

Paus

Photo by @kumbaka

“Menurutmu, sifat paling buruk apa yang dimiliki manusia?” tanyaku dalam rangka membunuh kebosanan di tengah kemacetan parah menuju rumah seusai berkunjung ke kota sebelah.

“Maruk, serakah dan tidak pernah puas.” Katanya sambil menaikkan rem tangan dan meluruskan kaki pertanda telah pasrah dengan kondisi macet yang makin parah.

“Kenapa begitu?” tanyaku.

“Mereka sangat mengutuk kemacetan, tapi mereka tetap pergi keluar rumah saat weekend. Seakan macet sepulang kantor masih terasa kurang juga.” Jelasnya yang diikuti dengan tawaku.

“Melihat kegilaan ini, menimbulkan 1 pertanyaan dalam pikiranku. Jika kau diberikan 1 kesempatan untuk dilahirkan kembali dan tidak menjadi manusia, kira-kira kau ingin dilahirkan menjadi apa?” Aku melemparkan pertanyaan random, tiba-tiba.

“Ada baiknya, karena kau yang memiliki pertanyaan, kau dulu yang menjawab. Biarkan aku berpikir lebih dulu sambil mendengarkan jawabanmu” ucapnya. Aku seketika berpikir untuk menemukan jawaban dari pengandaianku sendiri.

“Mungkin Paus?” Aku bertanya untuk jawabanku sendiri. Tanda ragu-ragu.

“Karena?”

“Sesimpel karena paus itu……adorable. Gesture mereka, gerakan tubuh mereka ketika menari saat mengarungi lautan sangat menawan. Saat mereka melompat di udara, mereka terlihat lebih dari sekedar anggun.” Jelasku.

“Hanya itu?” Tanyanya memastikan. Akupun diam sejenak.

“Juga karena mereka memiliki kawanan yang setia menemani mereka sejak kelahiran hingga saat mereka mati. Kawanan yang selalu ada setiap harinya dalam mendampingi mereka membelah samudra. Kawanan yang membuat lautan dingin maha luas jadi terasa hangat. Hidup mereka utuh, mereka tak pernah merasa kesepian..” Aku menggantungkan jawabanku di sana membuat suasana sedikit canggung.

“Bagaimana dengan kau? Sudah selesai berpikirnya?” Aku berusaha mengakhiri keheningan yang sempat hadir.

“Sudah kuputuskan, jika aku mendapatkan kesempatan itu, aku akan memberikannya padamu. Karena bagaimanapun buruknya aku dan hidupku, aku akan tetap memilih menjalani hidup ini sebagai diriku dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Menjalani jatuh bangunnya hidupku yang telah membentuk aku menjadi aku yang sekarang. Sekeras mungkin akan ku coba menikmati hidup ini sebesar apapun rasa kesepian yang sering kali datang..”

Sebuah intro lagu tiba-tiba terdengar dari radio tepat ketika ia menyelesaikan kalimatnya. Lagu yang menjadi lagu kesukaan kami berdua sejak dulu. Membuat aku dan dia refleks bernyanyi, menyudahi obrolan random sore hari dari 2 orang yang sama-sama kesepian namun tetap memilih hidup dalam kesendirian meski selalu berjalan bersisian.


Depok, 11 November 2016 pukul 01.38 pagi. Menyelesaikan tulisan setelah seharian me-repeat True Love Waits – Radiohead. This song helps me feeling better and makes me getting worse at the same time. LOL.

Selasa, 01 November 2016

Beringin Kembar

Image from sayangi.com

“Beringin kembar, kau tau kisah tentang mereka?” tanyanya ketika semangkuk wedang ronde selesai dihidangkan di hadapan kami. Membuka percakapan sebagai teman untuk menikmati minuman hangat ini di pinggiran Alun-alun Kidul Jogja, tempat dimana sang beringin kembar berada.

“Kisah bahwa mereka adalah sepasang kekasih yang ditugaskan untuk menjaga Keraton?” aku bertanya balik, sedikit asal.

“Ya, mungkin saja ada kisah seperti itu. Tapi, bukan kisah itu yang kumaksud.”

“Lalu?”

“Kisah tentang beringin kembar dan kaitannya dengan Jogja saat ini.” Ia mengawali kisahnya. “Kau tau, jika dulu Jogja tak seperti sekarang ini. Dulu, tak sembarangan orang bisa masuk ke Keraton atau bahkan berada di halamannya seperti yang sedang orang-orang lakukan sekarang. Dan jika mereka memiliki akses ke dalam Keraton pun mereka harus melepas alas kaki mereka, turun dari kuda atau kendaraan apapun yang sedang mereka tunggangi dan berjalan setengah merunduk saat melintasi kedua beringin itu. “

“Itu sesuatu hal yang wajar bukan untuk sebuah kerajaan seperti Jogja?”

“Sangat wajar untuk sebuah kerjaan tapi tidak untuk Kesultanan Jogja. Jogja itu ramah, Jogja itu rumah. Sifat eksklusivitas yang dimiliki Keraton dulu sekali telah membuat suasana Jogja terasa sangat kaku. Ada gap yang besar antara Keraton dengan rakyat yang membuat tidak adanya ikatan emosional yang kuat antara keduanya.”

Aku hanya mengangguk.

“Hingga akhirnya, pada tahun 1940 hadirlah seorang Sultan yang membawa perubahan terhadap Jogja. Kau tau Sultan Hamengkubuwono IX ‘kan?”

Aku menggangguk lagi.

“Dalam kepemimpinannya, Sultan Hamengkubuwono IX mengubah sistem Keraton ke arah yang lebih merakyat atau orang-orang sering menyebut dengan ‘Tahta Untuk Rakyat’. Ia menghapus peraturan-peraturan yang dulu telah membuat hubungan Keraton dan rakyat menjadi tidak dekat. Salah satunya, menghapuskan peraturan yang mengharuskan rakyat berjalan merunduk tanpa alas kaki saat melewati beringin kembar. Hubungan Keraton dan rakyat pun mencair, mencipatakan suasana yang hangat, ramah bagaikan rumah hingga saat ini. Membuatmu pasti selalu ingin kembali untuk pulang.” Katanya panjang lebar sambil sesekali menyesapi wedang ronde melalui sendok cekung berbahan alumunium. Aku hanya mendengarkan, menunggunya untuk melanjutkan kembali ceritanya.

“Hingga akhirnya, sekarang kau bisa melihat rakyat bermain dengan bebas bersama beringin kembar itu, sambil mempertaruhkan peruntungan nasib pada keduanya.” Lanjutnya.

“Jika mendengar ceritamu barusan, kondisi beringin kembar dulu dengan sekarang sudah sangat berbeda. Tapi, menurutku, sebenarnya kondisi keduanya kini masih sedikit sama dengan kondisinya saat dulu sebelum Sultan Hamengkubuwono IX datang.” Kataku menginterupsi.

“Maksudmu?”

“Kau bisa melihat satu kesamaan antara dulu dengan sekarang bahwa orang-orang masih harus mengeluarkan effort untuk bisa melewati kedua beringin ini. Dulu tanpa alas kaki sambil setengah merunduk, sekarang dengan penutup mata sambil meraba-raba.” Kataku yang kumaksudkan pada tradisi Masangin, dimana orang-orang berusaha untuk bisa berjalan melewati kedua beringin tua itu dengan kedua mata tertutup dengan iming-iming akan dikabulkan seluruh keinginannya ketika berhasil.

“Memang, orang-orang sangat pathetic dengan kehidupan mereka, terutama kehidupan asmara mereka. Sampai-sampai menggantungkannya pada sepasang beringin tua.” Katanya sedikit sinis.

“Asmara?” Tanyaku memastikan.

“Ya, asmara. Aku berani jamin kalau 99% orang yang mengikuti permainan beringin kembar ini dimotivasi oleh urusan percintaan. Termasuk kau.” Ia menyindirku yang baru saja selesai mencoba peruntungan di beringin kembar. Aku hanya tertawa mendengarnya, menganggap sindirannya hanya sebagai lelucon.

“Se-pathetic itu kah orang-orang ini –dan mungkin juga aku?” Tanyaku.

“Menurutku, pathetic sudah cukup pas untuk menggambarkan kondisi mereka.”

“Karena?”

“Karena tak ada hal yang lebih menyedihkan dari menyerahkan kehidupan percintaan pada sepasang beringin kembar yang tua. Di saat menjadi sendiri seperti saat ini merupakan pilihan mereka–dan mungkin juga kau.”

“Pilihan?” ucapku dengan nada tidak setuju.

“Ya betul pilihan, yang berarti mereka –dan juga kau, telah memilih untuk tidak menjalin hubungan perasaan dengan orang lain atau memilih untuk sendiri.”

“Sepertinya aku kurang setuju dengan ucapanmu ini. Bagaimana mungkin kau menyebut mereka ‘memilih’ di saat mereka bahkan tak memiliki pilihan sama sekali? Maksudku, dengan mengikuti permainan beringin kembar ini sudah dengan jelas menggambrakan seberapa putus asa mereka karena tak kunjung mendapatkan pilihan selain tetap menjadi sendiri.”

“Sikap ngotot-mu ini sebenarnya telah menunjukkan bahwa ‘memilih’ di sini benar-benar dilakukan di luar alam sadarmu.” Ucapnya dengan nada penuh kemenangan. “Apakah kau tidak sadar, dengan kau tetap terpaku pada seseorang yang selalu kau tunggu secara tidak langsung kau telah memilih untuk tetap sendiri?” ia berusaha menghaluskan ucapannya dengan menambahkan nada bertanya pada kalimatnya.

“Atau, contoh lainnya ketika kau membuat sederet kriteria bagi orang yang akan membantumu menghapus kesendirianmu. Kau bahkan tak memberikan kesempatan pada perasaan untuk tumbuh lebih dulu, namun membunuhnya langsung sebelum ia bisa berkembang. Kau secara tidak langsung telah memilih untuk sendiri.

Aku hanya diam. Kami berdua diam.

"Menjadi sendiri itu pilihan, karena pada kenyataannya kita memiliki pilihan lain untuk berbagi ruang hati dengan orang lain, hanya terkadang kita terlalu sibuk membangun dinding tinggi daripada membangun jembatan yang bisa menjadi pintu bagi orang lain untuk masuk ke kehidupan kita. Yang pada akhirnya membuat kita terkungkung di dalam ruangan berdinding tinggi tersebut, sendiri dan kesepian..” Ucapnya dingin.

Aku bersyukur dengan gerimis yang tiba-tiba turun sesaat ketika ia menyelesaikan kalimatnya yang kemudian memaksa kami untuk menyudahi malam dan kembali ke penginapan, membantuku mengalihkan pikiran dari apa yang telah ia ucapkan barusan.


Jogja kala itu memang terus dilanda mendung, gerimis hilang-timbul sepanjang hari tanpa henti. Membuat semangkuk wedang ronde tadi menjadi pilihan yang tepat, menghangatkan hati yang sebenarnya diam-diam merasa kesepian.

Depok, 01 November 2016 pukul 10.34 malam di Kedai Kopi Kesukaan: Mug. Tulisan diselesaikan saat sedang mendengarkan Overjoyed - Stevie Wonder karena benar-benar sedang overjoyed :)

Kamis, 13 Oktober 2016

Prau di Bulan Juni


Photo by: instagram.com/aminul_alawiyah

“Kira-kira apa yang membuatmu sangat menyukai tempat ini sampai-sampai ini kali ketujuhnya kau datang ke sini?” Tanyaku sambil menyeruput kopi panas sebagai usahaku agar bibir ini tidak beku oleh terpaan angin pagi pegunungan.

“Kau bisa melihat sendiri apa yang menjadi alasanku betah untuk selalu datang dan datang lagi.” Katanya sambil merentangkan kedua tangannya, menunjuk pemandangan Gunung Sumbing dan Sindoro yang menjulang gagah membelah lautan awan di hadapan kami.

“Aku kira, kau punya alasan lain yang lebih indah dari pemandangan ini. Kenangan bersama seseorang yang spesial, misalnya.” Kataku.

“Memang, aku selalu ingin membawa seseorang spesial dalam hidupku ke sini untuk bersama-sama menikmati apa yang sangat ku sukai ini.” Ucapnya sambil tetap meletakkan pandangannya pada kedua gunung di hadapan kami. “Tapi sayangnya, baru hari ini aku berhasil mewujudkan keinginanku tersebut.” Akunya secara perlahan. Aku dapat merasakan ia berusaha keras menjaga agar nada suaranya tetap stabil. “Jadi, aku menyukai tempat ini benar-benar karena aku menyukainya, bukan karena ada kenangan bersama seseorang.” Lanjutnya menegaskan.

Aku menanggapinya dengan diam, dan justru membuang pandangku ke rerumputan di antara kedua pahaku yang memutih diselimuti embun beku. Ia pun ikut diam dengan kembali menikmati apa yang ada di hadapan kami: Gunung Sumbing & Sindoro yang terlihat serasi dengan saling berdampingan. Di sekelilingnya kabut tipis dan lautan awan menyelimuti bagian lereng mereka. Menyisakan misteri dan pertanyaan tentang apa yang ada di baliknya.

“Apakah kau tau, tentang cerita di balik keindahan pemandangan ini?” Tanyanya memecah keheningan. Aku geleng-geleng karena tidak tau.

“Kalau begitu akan aku ceritakan.” Ucapnya.

“Kalau begitu akan aku dengarkan.” Balasku.

“Menurutmu, apakah Sindoro dan Sumbing terlihat seperti sesuatu yang hidup? Sesuatu yang bukan hanya sekedar benda mati layaknya sebuah gunung, melainkan memiliki jiwa?” Ia mengawali kisahnya dengan sebuah pertanyaan. Aku hanya memberikan kerutan dahiku sebagai respon tanda tidak tau.

“Masyarakat setempat percaya bahwa Sindoro dan Sumbing dulunya adalah manusia. Mereka merupakan sepasang kekasih yang dipercaya oleh Tuhan untuk menjadi sepasang gunung yang bertugas untuk menjaga Tanah Jawa.

“Mereka terlihat bahagia, hidup berdampingan bersama-sama mengemban tugas mulia Yang Maha Kuasa. Setidaknya terlihat dari betapa indahnya visualisai diri mereka saat ini. Seakan menyiratkan jika mereka sangat mensyukuri keputusan Tuhan yang telah membuat mereka kekal dalam kebersamaan.

“Namun, jika kau melihat lebih dalam lagi, sesungguhnya mereka sangat menyesali hal ini. Keadaan sesungguhnya berbeda, tak seindah seperti yang kita lihat sekarang. Kenyataannya, saat ini mereka tidak berdampingan bersama seperti saat mereka masih menjadi manusia dulu. Mereka dipisahkan jarak puluhan kilometer satu sama lain, bahkan keduanya berada di 2 kabupaten berbeda.

“Mereka kesepian satu sama lain, hanya ada hawa dingin yang selalu menemani mereka setiap harinya. Dan ini diperparah dengan sifat kekal yang telah diputuskan Tuhan. Kesepian mereka abadi.

“Dan kau pasti mengerti jika rasa kesepian itu membunuh secara perlahan....” Ia mengakhiri ceritanya dengan nada yang menggantung, meletakkan dagunya di atas dengkul kakinya yang dilipat ke dada. Angin dingin yang berhembus kencang, dan juga sepertinya cerita tentang Sindoro dan Sumbing tadi, membuat aku juga ingin melakukannya, menghangatkan tubuh di tengah suasana yang tiba-tiba menjadi bertambah dingin.

“Ceritamu sangat tragis, aku tidak suka. Jangan suka membahas tentang suatu hal kecuali kau memang benar-benar merasakannya, seperti rasa kesepian itu.” Kini posisi ku sama persis dengan dia, dengkul dilipat ke dada dan kedua tangan memeluk kedua kaki erat-erat.

Kami banyak diam pagi itu. Entah karena berfokus pada apa yang sedang alam suguhkan atau karena merasa terjebak oleh keadaan yang memaksa kami untuk membahas hal yang selalu kami hindari untuk kami bahas.

“Apakah aku tidak terlihat seperti seseorang yang sangat kesepian?” tanyanya di tengah keheningan kami, dengan nada yang menyiratkan seberapa dalam rasa kesepian yang ia rasakan, membuatku bingung harus merespon apa. Aku pun memilih tetap diam, sambil memikirkan apa yang harus kukatakan untuk ucapannya barusan. Tapi sayangnya ia pun ikut diam. Membuat aku terdesak untuk mengatakan apapun.

“Kalau memang kau kesepian, lalu mengapa kau masih memilih untuk tetap sendiri sampai saat ini?” Akhirnya aku memberanikan diri untuk melanjutkan topik pembicaraan ini dengan melemparkan pertanyaan tersebut. Dan lagi, ia menanggapi pertanyaanku dengan diam. Pertanyaanku tersebut telah membuat udara menjadi terasa lebih dingin dan respon diamnya tersebut sukses membuat suasana menjadi beku.

“Kau tau, jika tak semua hal yang sangat kau inginkan harus kau miliki?” Katanya yang membuatku menoleh, meletakkan pandangku padanya. Tidak berbicara apa-apa, mempersilahkan ia untuk melanjutkan kata-katanya.

“Ku berikan satu perumpamaan untuk mempermudah hal ini." Katanya perlahan. "Sama halnya dengan keberadaan ku di sini, di tempat favoritku ini. Seperti yang baru saja sudah aku ceritakan bahwa apa yang membuatku jatuh cinta pada Prau bukanlah Prau itu sendiri, melainkan pemandangan yang disuguhkannya yaitu Gunung Sumbing dan Sindoro di depan sana. Keberadaan mereka berdualah yang membuatku rela bersusah-payah naik ke atas sini sampai kali ketujuhnya karena hanya dari sinilah aku bisa menyaksikan keindahan mereka. Tapi, jika kau tanya apakah aku pernah berkunjung ke kedua gunung tersebut atau salah satunya, jawaban ku adalah tidak. Karena aku percaya, jika tempat paling sempurna untuk menikmati keindahan mereka adalah dari sini. Jika aku pergi ke sana, aku pasti tak akan mendapatkan apa yang sedang aku nikmati saat ini..

“Karena pada akhirnya, ada beberapa hal yang akan menjadi lebih indah jika kau tetap menjaga jarak darinya. Menyaksikannya dari jauh, mengagumi tanpa diketahui, mencintai dengan sembunyi-sembunyi…”

Perbincangan kami pagi itu menggantung pada hening yang kembali menyelimuti kami. Matahari terus beranjak naik, membuat embun beku yang menutupi permukaan rumput-rumput mencair. Udara pun menjadi lebih hangat karena terpaan sinarnya. Seiring matahari yang semakin terik, kabut dan awan yang menutupi lereng Sindoro dan Sumbing pun secara perlahan naik sampai ke puncaknya hingga menutupi seluruh bagian keduanya. Seakan menjadi tanda bahwa pertunjukkan Tuhan hari ini telah usai dan akan dilanjutkan lagi esok hari.


Prau di bulan Juni yang merupakan waktu paling dingin dari Prau setiap tahunnya pun telah menghangat, namun tidak demikian dengan suasana yang ada di antara kami.

Depok, 12 Oktober 2016.


11.58 malam, sebelum beranjak tidur dengan ditemani lagu dari Daft Punk - Something About Us sambil tak henti-hentinya memikirkan seseorang di luar sana.

Kamis, 07 Juli 2016

Fireworks


Beautiful artwork that specially painted for this story by friend of mine, @zalfyanka


“Kamu tau apa yang aku suka dari tahun baru?”

“Resolusi baru?” jawabnya sedikit asal. “Walau sebenernya jarang juga sih ada orang yang bisa memenuhi resolusinya setiap memasuki akhir tahun, sesederhana turun berat badan sekalipun.”

Aku diam yang kumaksudkan sebagai ‘bukan’. Karena memang aku bukan tipikal orang yang ramai-ramai membuat resolusi setiap awal tahun dan kemudian lupa di bulan kedua.

“Kalau begitu, libur panjang? Dua minggu tanpa gangguan klien cukup untuk membuat liburan akhir tahun selalu dinantikan, ‘kan?”

“Ya, itu salah satunya. Tapi bukan itu.”

“Lalu apa?”

“Kembang api.” kataku ringan yang direspon dengan tawa kecil sarat sindiran. “Murahan banget ya.” lanjutku sebelum ia mengucapkan kata-kata itu lebih dulu yang kemudian dibalas tepukan halusnya di pundakku.

“Kenapa kembang api?” tanyanya sambil melemparkan tatapan penasaran yang mendalam ke dalam pusat perasaanku.

“Sesimpel karena kembang api itu indah. Atau menawan. Atau, apapun itu kau menyebutnya. Semua pasti setuju kalau kembang api itu satu-satunya yang bisa membuatmu lama-lama mendongakkan kepala sambil mengagumi tanpa merasa pegal di lehermu.”

“Aku setuju. Tapi ingin ku koreksi sedikit.” Ia menyela. “Menurutku, yang indah itu bukan kembang apinya, tapi justru momennya lah yang membuat kembang api itu jadi terlihat indah. Dan, yang terpenting, orang yang kau ajak bersama saat menghabiskan momen tersebut yang membuat kembang api menjadi terasa menawan.”

“Ya, aku setuju dengan hal itu. Sebenarnya itu yang ingin aku katakan sebelum kau memotong ucapanku tadi.” Ucapku sedikit tidak mau kalah. "Misalnya, kau menyalakan kembang api saat upacara pemakaman nenekmu atau saat kucingmu baru saja jadi korban tabrak lari mobil tetangga, tentu percikannya tidak akan terlihat seindah itu. Karena momennya ngawur.”

“Selain itu, perihal orang yang kau ajak menikmati kembang api, itu aku juga setuju.” Lanjutku. “Tiap tahun, aku tak pernah absen untuk datang ke tempat ramai dimana orang akan menyalakan kembang api saat pergantian tahun. Alun-alun kampung halaman di Jogja, Bunderan HI, sampai Times Square di New York. Dari mulai bareng keluarga, teman dan temannya teman, sampai sendirian bersama stranger sepernasiban pun aku pernah. Dan juga, bareng sama kamu khusus untuk tahun baru tahun lalu dan tahun ini. Kehadiran kalian semua sama, menjadi pemeriah momen atau sekedar menjadi teman penghilang ke-awkward-an saat bertepuk tangan kegirangan.” Aku berhenti bicara, memberikan sedikit jeda. Mengalihkan pandanganku dari matanya ke jam tangan di lengan kiriku. Pukul 23:51.

“Namun pada akhirnya, aku selalu merasakan ada yang kurang." aku melanjutkan kalimatku. "Dari sekian banyaknya pesta malam tahun baru yang aku saksikan, aku selalu merasa………kesepian. Kalian memang ada di sana, keluarga dan teman-temanku serta kamu dan suara ledakan kembang api yang berbunyi sahut-sahutan tanpa henti. Tapi, aku merasa itu semua hambar. Intinya, aku semacam membutuhkan kehadiran seseorang yang bisa aku genggam tangannya sambil mengucapkan doa kebaikan untuk tahun yang akan datang di dalam hati masing-masing. Karena justru, selama ini aku malah selalu curi-curi kesempatan untuk meneriakkan doa atas keinginanku tersebut di sela-sela bisingnya suara ledakan kembang api.” Kataku panjang lebar. Kami masih dalam posisi yang sama, bersebelahan dengan ada sedikit jarak di antara ujung pundak kami, mendongak menghadap ke arah langit. Namun mata kami tetap di sana. Saling memandang satu sama lain lewat ekor mata masing-masing.

Kemudian hening datang, mengisi ruang di antara ujung pundakku dan ujung pundaknya, menyisakan sedikit oksigen untuk dihirup.

“Kamu tau apa pelajaran yang bisa kita ambil dari kembang api?” tanyanya memecah dead air yang semakin menguat.

Aku diam, tanda tidak tau. Bukan tanda bahwa aku nyaman dengan dead air yang ada.

“Bahwa, di balik sebuah keindahan pasti ada kekurangan yang menyertai. Di balik indahnya percikan warna-warni kembang api, selalu terdapat suara bising yang menyakitkan telinga.”

“Kau tidak bisa menyaksikan indahnya kembang api tanpa suara ledakan, karena memang justru di situ lah letak keindahannya. Harmoni antara yang memanjakan mata dengan yang melukai telinga.”

“Namun, begitupula dengan kekurangan, pasti akan selalu datang bersamaan dengan keindahan yang mungkin hanya kau tidak sadari keberadaannya. Yang kau butuhkan hanyalah sedikit peka dan melihat jauh lebih dalam sisi lain kekurangan itu.” lanjutnya.

Aku masih diam, hanya mendengarkan.

“Pada akhirnya, berhentilah mencari kesempurnaan, karena yang baik pasti selalu diikuti dengan kekurangan, dan tentulah begitu pula kesebalikannya.”  

Mata kami tidak lagi saling melekat saat ia mengucapkan kalimat terakhirnya tersebut. Bisa jadi karena mata kami mulai sibuk menangkap setiap warna yang keluar dari pecahan kembang api di udara. Ah, baru pukul 12 malam kurang 30 detik namun kembang api sudah ramai menghiasi langit Kathmandu. Selamat tahun baru!

Kutoarjo, 7 Juli 2016.

12:29 dini hari dengan ditemani playlist Black Keys, Payung Teduh dan Adhitia Sofyan.